Selesai sudah Zafran Saphire...
Acara yang berangkat dari kemisteriusan dua insan. Ikhwan dan akhwat.
Kenapa mereka berbeda?
dan kenapa harus berbeda?
Akhwat begini, ikhwan begitu.
Kalau di generalisasi keduanya memang berbeda.
Tapi bukannya tidak mungkin mereka hampir sama.
Berbicara tentang mereka, berarti berbicara tentang diri sendiri salah satunya.
Hei, hei, apakah saya memiliki sifat mayoritas perempuan?
Iya. Pasti.
Tapi terkadang saya merasa lebih 'nyambung' berbicara dengan lelaki. Ceplas ceplos, nyablak, ga perlu emosi. Apa adanya.
Dan ini nih, yg membuat saya sedikit khawatir...
Khawatir ngobrol tanpa batas, tanpa batasan maksudnya.
Menurut tes psikologi, cara berpikir saya itu minoritas pada perempuan, dan mayoritas ada pada lelaki. Kalau dari berpikir saja sudah berbeda, apalagi saat berbicara yaa..
Perempuan yang terkenal peka, perasa aka sensitif, sering saya tidak seperti itu. Maka saya ga heran kalau ada teman lelaki atau perempuan bilang:"Masa kamu ga ngerasa sih?"
Dan saya menggeleng. Bahkan sampai mereka bilang:"Kita yang liat aja tau..". Yang ini sudah tidak lagi memakai indra perasa (lidah maksudnya? Bukan: Hati), tapi memakai indra penglihatan.
Eh tapi tunggu dulu, apakah lelaki se-tidak-peka ini juga? Atau saya yang memang kelewat ga peka? Hadooo, bisa gawat. Ini juga yang membuat saya khawatir. Kerasnya batu Intan mengebaskan kepekaan. (Segitunyaaa??)
Eniwei, dulu sampai pernah saya bertanya: KENAPA muka lelaki itu memerah?
(polos banget ga siih). Setelah diberitahu teman kalau artinya malu baru saya tahu. Input informasi yang ada di memori saya adalah: MUKA MERAH = MALU.
Jadi, kalau ada seseorang didepan saya yang wajahnya memerah saya cuma berpikir dia malu. Kenapa dia sampai malu, bukan urusan saya.
Nampak kejam bukan?
Sebagai perempuan biasanya berpikir macam2kan? Tapi saya: simpel aja, ga usah berpikir macam-macam. GR? Ngga, kalaupun sempat terlintas, saya langsung berpikir: buat apa saya GR, ga ada sebab yang bikin saya GR. Titik. Cukup sampai disitu. Kalau dia cerita tentang apa penyebab malunya, barulah saya berpikir lebih jauh. Yah, lebih baik tidak menduga-duga dan terjatuh dalam prasangka. Toh belum tentu apa yang saya pikir dipikirkan orang lain juga.
Ustadz Salim A Fillah bilang perempuan itu kalau berbicara muter-muter dulu baru ke intinya. Atau seringnya memakai kalimat tidak langsung. Sebaliknya, lelaki lebih suka to the point. Yang terakhir ini juga apa yg biasanya saya inginkan. "udaaahhh, ga usah muter2...lama.."
Anomali? Aneh ga sih?
Lagi-lagi, hal ini membuat saya khawatir. Tapi dilain pihak, ada untungnya juga :D
Banyaaaaak untungnya...
Menjadi tidak peka terhadap pujian setinggi langit dari seseorang itu menyenangkan.
Tidak perlu dimasukan hati. Tapi cukup ditelinga saja. Senyum, tanpa rasa ingin tahu berlebih. Itu sudah cukup. Cukup membuat saya tidak terjerumus terhadap pikiran-pikiran abstrak. Di depan sana sudah menanti banyak realita yang harus dipikirkan.
Acara yang berangkat dari kemisteriusan dua insan. Ikhwan dan akhwat.
Kenapa mereka berbeda?
dan kenapa harus berbeda?
Akhwat begini, ikhwan begitu.
Kalau di generalisasi keduanya memang berbeda.
Tapi bukannya tidak mungkin mereka hampir sama.
Berbicara tentang mereka, berarti berbicara tentang diri sendiri salah satunya.
Hei, hei, apakah saya memiliki sifat mayoritas perempuan?
Iya. Pasti.
Tapi terkadang saya merasa lebih 'nyambung' berbicara dengan lelaki. Ceplas ceplos, nyablak, ga perlu emosi. Apa adanya.
Dan ini nih, yg membuat saya sedikit khawatir...
Khawatir ngobrol tanpa batas, tanpa batasan maksudnya.
Menurut tes psikologi, cara berpikir saya itu minoritas pada perempuan, dan mayoritas ada pada lelaki. Kalau dari berpikir saja sudah berbeda, apalagi saat berbicara yaa..
Perempuan yang terkenal peka, perasa aka sensitif, sering saya tidak seperti itu. Maka saya ga heran kalau ada teman lelaki atau perempuan bilang:"Masa kamu ga ngerasa sih?"
Dan saya menggeleng. Bahkan sampai mereka bilang:"Kita yang liat aja tau..". Yang ini sudah tidak lagi memakai indra perasa (lidah maksudnya? Bukan: Hati), tapi memakai indra penglihatan.
Eh tapi tunggu dulu, apakah lelaki se-tidak-peka ini juga? Atau saya yang memang kelewat ga peka? Hadooo, bisa gawat. Ini juga yang membuat saya khawatir. Kerasnya batu Intan mengebaskan kepekaan. (Segitunyaaa??)
Eniwei, dulu sampai pernah saya bertanya: KENAPA muka lelaki itu memerah?
(polos banget ga siih). Setelah diberitahu teman kalau artinya malu baru saya tahu. Input informasi yang ada di memori saya adalah: MUKA MERAH = MALU.
Jadi, kalau ada seseorang didepan saya yang wajahnya memerah saya cuma berpikir dia malu. Kenapa dia sampai malu, bukan urusan saya.
Nampak kejam bukan?
Sebagai perempuan biasanya berpikir macam2kan? Tapi saya: simpel aja, ga usah berpikir macam-macam. GR? Ngga, kalaupun sempat terlintas, saya langsung berpikir: buat apa saya GR, ga ada sebab yang bikin saya GR. Titik. Cukup sampai disitu. Kalau dia cerita tentang apa penyebab malunya, barulah saya berpikir lebih jauh. Yah, lebih baik tidak menduga-duga dan terjatuh dalam prasangka. Toh belum tentu apa yang saya pikir dipikirkan orang lain juga.
Ustadz Salim A Fillah bilang perempuan itu kalau berbicara muter-muter dulu baru ke intinya. Atau seringnya memakai kalimat tidak langsung. Sebaliknya, lelaki lebih suka to the point. Yang terakhir ini juga apa yg biasanya saya inginkan. "udaaahhh, ga usah muter2...lama.."
Anomali? Aneh ga sih?
Lagi-lagi, hal ini membuat saya khawatir. Tapi dilain pihak, ada untungnya juga :D
Banyaaaaak untungnya...
Menjadi tidak peka terhadap pujian setinggi langit dari seseorang itu menyenangkan.
Tidak perlu dimasukan hati. Tapi cukup ditelinga saja. Senyum, tanpa rasa ingin tahu berlebih. Itu sudah cukup. Cukup membuat saya tidak terjerumus terhadap pikiran-pikiran abstrak. Di depan sana sudah menanti banyak realita yang harus dipikirkan.
2 komentar:
wah pdhl saya pgn banget tuh ikutan, sayang skali ada acara lain
*hati2, pujian ibarat pedang bermata 2, berhidung 1, mulut 1..hhehe..
iya.. sayang sekali.. rugi...*promosi, tetep*
tapi pujian yang tulus dan tidak berlebihan itu juga tidak dilarang oleh Rasul
Post a Comment