My counseling session is in 24 hour. I've done prepping my patient, her medrec, reviewing her illness, writing down the scenario, speaking it not-out loud. She is a lovable old woman, though. And I got my heart beats so fast until I meet her earlier on the next day..
***
Pagi itu, saya sengaja datang satu jam lebih awal. Pendaftaran pasien di Puskemas sudah dibuka sejak sebelum saya datang, namun pemeriksaan pasien masih puluhan menit lagi. Berhubung hari ini Senin, harinya poli lansia selain hari Kamis. Pas sekali, saya mendapat giliran ujian hari Senin dan pasien saya seorang lansia. Sebagian teman lainnya tergilir besok untuk ujian.
Jam 8 kurang, batin saya melihat jam. Saya berjalan sedikit menuju Puskesmas. Dari jauh saya memperhatikan sosok nenek berjilbab duduk dekat pedagang siomay di gerbang depan Puskesmas. Saya percepat langkah mendekatinya.
"Ibu?", saya kaget, ibu itu tidak. Saya tidak lupa kalau janji bertemu adalah jam 9 pagi.
"Kok sudah datang pagi-pagi begini?" Bukannya tidak bersyukur, tapi saya heran dan penasaran. Ternyata ibu itu juga punya janji dengan cucunya yang katanya mau periksa kelenjar di lehernya yang bengkak.
"Tapi cucu ibu belum datang juga" keluhnya sedih. Kasihan, masih pagi sudah dikecewakan cucu.
"Sabar ya, ibu. Ibu mau menunggu disini atau ke dalam sama saya?"
"Disini aja, neng"
"Kalau begitu saya ke dalam dulu ya, bu. Mau siap-siap. Nanti jam 9 saya kesini lagi"
Jam 9 kurang. Puskesmas semakin ramai oleh pasien. Di Puskesmas ini jumlah pasien ratusan setiap harinya; Poli umum (BP) sekitar 70-80 pasien, Lansia 40-50 pasien, MTBS (anak 0-5th) belasan pasien, KIA (ibu hamil,dll) juga banyak dan TB ada puluhan pasien.
Saya tengok dari jendela lantai 2 ke arah para lansia mengantri duduk. Ibu itu tidak ada disana, tidak juga di depan gerbang. Makin deg-deg-an jadinya. Meskipun tadi lebih tenang karena preceptor berhalangan datang menguji karena ada tugas ke luar kota. Tapi Kepala Puskesmas sudah datang dan siap menguji walaupun sendiri.
"Pasien saya sudah datang, dok. Tapi barusan saya lihat beliau 'menghilang'"
"Ya sudah nanti langsung ke bawah saja ya. Saya siapkan tempat dulu sambil periksa di Lansia"
"Oh, iya dok. Tadi saya juga sudah daftarkan pasiennya. Nomor antrian 13"
Tidak lama, saya turun ke lantai 1 mencari sang ibu. Ternyata ibu itu sudah duduk manis seraya mengobrol dengan sejawat di sampingnya.
"Ibu, kalau ibu dipanggil, saya yang periksa di dalam, ya. Saya periksa pasien lain dulu"
Di bagian Lansia, nampak kepala puskesmas sibuk memeriksa pasien. Saya menghampirinya untuk memberi tahu kalau pasien saya sudah datang dan siap (siaaap?) diuji. Sementara menunggu nomor antrian, saya meminta izin untuk membantu teman memeriksa di MTBS. Gak nyambung sama ujian ya? Saya pikir, dari pada nunggu di kantor, lebih baik saya periksa beberapa pasien. Pasien terobati, deg-deg-an saya juga *counter-transference: mode*
***
Ujian dimulai. Setelah saya persilakan duduk, menyapa dan berkenalan *padahal sudah kenal, secara sudah homevisit 3 kali. Lalu, saya jelaskan sedikit tentang konseling dan tujuannya..
"Ibu, kita mengobrol sebentar tentang penyakit ibu ya, mungkin sekitar 10-15 menit. Tujuannya untuk mengetahui penyebab, faktor-faktor risiko, pengobatan dan pencegahannya. Bagaimana bu?"
Ibu itu menangguk dan tersenyum. Lalu saya lanjutkan dengan brief anamnesis.
"Sekarang apa yang dirasakan bu?"
"Pegel-pegel, dok", jawabnya sambil meremas pundak kanan.
"Kalau lututnya bagaimana?". By the way, saya mau konseling tentang osteoartritisnya. Kok jadi pegel pundak? Bukannya tidak mungkin tapi..*gawat.com*